Tuesday 8 September 2015

Resensi Novel "Rindu" Karya Tere Liye

Assalamualaikum Wr Wb.

Sehebungan gue baru beres baca nih Novel (walupun minjem dari perpus :D) ane kepikiran untuk share cerita yang menurut gue sangat dekat sekali dengan permasalah yang jaman ini pun masih sering terjadi, atau bahkan mungkin ada pembaca yang sudah mengalami masalah yang ada dalam novel ini, sebenernya gue juga sih hampir mengalami permasalahan yang ada dalam novel ini, dan saat gue mau nulis ini ane cari dulu di internet dan ternyata udah banyak banget yang udah nulis resensi tentang novel ini, jadi ane cari aja yang paling bagus dan ane copas deh blog ane. Tapi ane nambahin dan ngurangin juga sih biar menurut gue pas gitu, nih ane cantumin sumber aslinya biar pun gue copas gue tetep respect deh sama yang udah nulis ini Sangkyu ya :)


Pernahkah, sekali saja sepanjang usiamu, kau memiliki sebuah pertanyaan mengenai kehidupan?
Pertanyaan tentang apa saja, apapun yang muncul dalam benakmu, apapun yang timbul dari pengalaman hidupmu.
Seperti…
“Apakah Tuhan masih mau memaafkan saya? Meski saya bergelimang dosa dan pernah hidup dengan cara yang nista dan hina?”
“Kenapa saya harus begitu membenci seseorang? Bagaimana caranya menghapuskan rasa benci ini?”
“Kenapa saya harus jatuh cinta? Kenapa ketika jatuh cinta, bukan bahagia yang memenuhi hati ini, tapi malah rasa sakit yang tak terperi? Kenapa Tuhan memberikan rasa cinta lantas Ia menghadapkan kita pada kenyataan bahwa cinta itu tak bisa kita miliki?”
“Kenapa Tuhan mengambil orang-orang yang sangat kita cintai? Kenapa tak bisa menunggu sedikit saja, sebentar saja, hingga apa yang kami impikan dan harapkan bisa menjadi kenyataan?”
“Kenapa rasanya begitu munafik? Memberikan nasehat dan kata-kata bijak pada orang lain namun diri sendiri tak bisa melakukan sesatu yang benar?”
Pertanyaan-pertanyaan itu, terangkum dalam kisah 5 orang anak manusia yang diceritakan dalam novel ini. Lima orang dengan latar belakang, usia, daerah asal dan karakter yang berbeda-beda. Mereka disatukan dalam sebuah perjalanan yang sama, untuk menggenapkan rukun islam yang kelima, dalam sebuah kapal uap bernama Blitar Holland. Kisah-kisah ini mengambil latar pada masa pendudukan dan penjajahan Belanda di Indonesia, tepatnya pada tahun 1938 Masehi, tujuh tahun sebelum kemerdekaan Indonesia.
Kalau saya boleh jujur, menurut saya membaca buku ini tidaklah mudah. Butuh semangat yang lebih untuk bisa menuntaskan bait demi bait tulisannya, lembar demi lembar halamannya. Mungkin karena saya lebih terbiasa membaca novel dengan ketebalan yang tidak melebihi 400 halaman, sehingga untuk yang satu ini membuat saya sedikit harus berusaha ekstra.
Ada banyak ulasan mengenai kapal uap, mengenai kegiatan para kelasi kapal, yang sejujurnya tidak begitu saya pahami dan tidak begitu menarik untuk saya telusuri lebih detail. Tapi apalah arti sebuah buku tanpa ada bumbu-bumbu penyedap. Mungkin bagian yang menjabarkan mengenai kapal uap, kelasi dan dermaga ini adalah bumbu penyedap yang diberikan penulis dalam buku ini setebal 544 halaman ini, yang menurut pembaca lain (selain saya) bisa jadi menarik untuk dibaca. Namun saya merasa sangat penting untuk terus membaca tiap lembar isinya, karena ditiap lembar bagian awal buku ini terletak kunci-kunci yang nantinya akan sangat berkaitan dengan bagian akhir cerita.
Dan yang membuat saya merasa puas adalah cara penulis menarasikan nasehat-nasehat yang disampaikan melalui lisan seorang ulama mahsyur bernama Gurutta, salah satu tokoh utama dalam novel ini, yang juga merupakan tokoh favorit saya. Nasehat-nasehat itu sepertinya keluar benar-benar dari seorang ulama besar dengan segala kebijaksanaan yang dimilikinya. Sampai-sampai saya berpikir, “Andai saja ada ulama seperti ini di Indonesia, mungkin saya akan hijrah ke tempat asal beliau dan meminta untuk menjadi muridnya.”.
Permasalahan yang dialami tokoh-tokoh dalam novel tersebut mungkin tak jauh beda dengan permasalahan yang selama ini kita alami dalam kehidupan sehari-hari. Satu tokoh memiliki satu permasalahan yang berbeda dengan tokoh lainnya. Tiap masalah memunculkan satu pertanyaan besar. Masalah dan pertanyaan itu lah yang menjadi bagian terpenting dari cerita dalam novel ini. Inilah yang akan saya jabarkan satu per satu dalam resensi ini.
Masa Lalu Yang Kelam
Siapa diantara kita yang tak punya masa lalu? Pasti semua memiliki masa lalu dengan ceritanya masing-masing. Jika masa lalu kita indah maka tak akan jadi soal. Namun jika masa lalu kita buruk, inilah yang menjadi masalah.
Dalam novel ini salah satu tokoh nya memiliki masa lalu yang begitu kelam. Masa lalu yang sama sekali tak ingin dia ingat, yang kalau bisa rasanya ingin dia hapuskan dari memori otaknya. Ia dulu pernah menjadi seorang pelacur, atau dalam bahasa novel tersebut, seorang ‘cabo’. Ia merasa begitu hina dan kotor karena profesi yang dulu pernah bertahun-tahun dilakoninya tersebut. Hingga ia merasa perlu untuk melarikan diri dari segalanya, dari kehidupannya yang dulu, dari keluarganya, dari daerah asalnya, karena takut dikenali orang-orang sebagai seorang mantan ‘cabo’. Ia sampai merubah namanya, dari Ling Ling menjadi Bonda Upe.
Bukan hanya masa lalu nya itu yang membuatya resah, namun pertanyaan yang muncul setelahnya. Kini ia sedang dalam perjalanan menuju tanah suci untuk menunaikan ibadah haji. Ia takut sekali dan terus mempertanyakan, “Apakah Allah menerima ibadah haji seorang mantan cabo?”. Masa lalu dan pertanyaan tersebut terus menghantui dirinya hingga membuatnya takut untuk bersosialisasi, takut bertemu dengan banyak orang, takut ada yang membuka identitas nya sebagai mantan cabo. Hingga ia memilih untuk menjadi orang yang sangat tertutup dan enggan berteman dengan siapapun.
Namun jawaban yang diberikan Gurutta, sang ulama bijak itu, telah menjawab semua kegundahan hatinya. Izinkan saya mengutip rangkaian nasihat indah yang diberikan Gurutta pada Bonda Upe, yang mungkin juga bisa menjadi pelipur lara bagi pembaca sekalian yang juga sedang bergelut dengan masa lalu yang kelam.
“Cara terbaik menghadapi masa lalu adalah dengan dihadapi. Berdiri gagah. Mulailah dengan damai menerima masa lalumu. Buat apa dilawan? Dilupakan? Itu sudah menjadi bagian hidup kita. Peluk semua kisah itu, berikan dia tempat terbaik dalam hidupmu. Itulah cara terbaik mengatasinya. Dengan kau menerimanya, perlahan-lahan, dia akan memudar sendiri. Disiram oleh waktu, dipoles oleh kenangan yang lebih bahagia.”
“Tentang penilaian orang lain, tentang cemas diketahui orang lain siapa kau sebenarnya. Maka ketahuilah, saat kita tertawa, hanya kitalah yang tahu persis apakah tawa itu bahagia atau tidak. Boleh jadi, kita sedang tertawa dalam seluruh kesedihan. Orang lain hanya melihat wajah. Saat kita menangis pun sama, hanya kita yang tahu persis apakah tangisan itu sedih atau tidak. Boleh jadi, kita sedang menangis dalam seluruh kebahagiaan. Orang lain hanya melihat luar. Maka, tidak relevan penilaian orang lain.”
“Kita tidak perlu menjelaskan panjang lebar. Itu kehidupan kita. Tidak perlu siapa pun mengakuinya untuk dibilang hebat. Kitalah yang tahu persis setiap perjalanan hidup yang kita lakukan. Karena sebenarnya yang tahu persis apakah kita bahagia atau tidak, tulus atau tidak, hanya diri kita sendiri. Kita tidak perlu menggapai seluruh catatan hebat menurut versi manusia sedunia. Kita hanya perlu merengkuh rasa damai dalam hati kita sendiri.”
“Kita tidak perlu membuktikan pada siapapun bahwa kita itu baik. Buat apa? Sama sekali tidak perlu. Jangan merepotkan diri sendiri dengan penilaian orang lain. Karena toh, kalaupun orang lain menganggap kita demikian, pada akhirnya tetap kita sendiri yang tahu persis apakah kita memang sebaik itu.”
“Apakah Allah akan menerima seorang pelacur di Tanah suci? Jawabannya hanya Allah yang tahu, kita tidak bisa menebak, menduga, memaksa, merajuk, dan sebagainya. Itu hak penuh Allah. Tapi ketahuilah, Nak, ada sebuah kisah sahih dari Nabi kita. Mungkin itu akan membuatmu menjadi mantap. Sebuah kisah tentang pelacur yang memberikan minumnya kepada anjing yang kehausan padahal ia juga sangat haus dan sisa air tinggal sedikit. Hingga akhirnya pelacur itu menjemput ajalnya karena kehausan, namun karena amal baiknya pada seekor anjing, Allah mengampuni dosa-dosanya.”
“Jadi apakah Allah akan menerima ibadah haji seorang pelacur? Hanya Allah yang tahu. Kita hanya bisa berharap dan takut. Senantiasa berharap atas ampunanNya. Selalu takut atas azabNya. Belajarlah dari riwayat itu. selalulah berbuat baik Upe, selalu. Maka semoga esok lusa, ada satu perbuatan baikmu yang menjadi sebab kau diampuni. Mengajar anak-anak mengaji misalnya, boleh jadi itu adalah sebabnya.”
Itulah tiga inti dari nasehat indah yang diberikan Gurutta. Berhenti lari dari kenyataan hidupmu, berhenti cemas dengan penilaian orang lain, dan mulailah berbuat baik sebanyak mungkin.
Tentu saja, masa lalu kelam memang tak bisa dengan mudah dilupakan. Tapi kita punya dua pilihan, apakah akan terus berusaha melarikan diri darinya, atau mengikhlaskannya sebagai bagian tak terpisahkan dari hidup kita. Sungguh kata-kata Gurutta telah lebih dari cukup menjelaskan segalanya, bahwa lari dari masa lalu justru akan membuat kita hidup dalam siksaan yang lebih menyakitkan. Siksaan karena pernah hidup dengan cara yang kotor, siksaan karena ingin menjadi sebersih mungkin dalam pandangan semua orang meskipun tahu masa lalu itu tak bisa dihapuskan. Tersiksa sekali jika harus hidup seperti itu. Maka tak ada cara lain selain mengikhlaskannya.
Biarkanlah masa lalu itu tetap menjadi masa lalumu, terima ia sebagai pelajaran indah yang diberikan Allah sehingga kini kau tahu jalan mana yang harus kau tempuh agar tidak kembali jatuh ke dalam jurang yang sama. Dan jangan biarkan rasa cemas terhadap penilaian orang lain semakin memperburuk hari-harimu. Karena manusia memang tempat khilaf dan salah. Tak ada manusia di dunia ini yang lepas dari dosa dan kesalahan. Bila memang ada orang lain yang menilai buruk tentangmu, ikhlaskan lah. Jika kata-kata yang ia sampaikan adalah benar, jadikan itu sebagai pecut untuk merubah diri menjadi lebih baik lagi. Namun jika kata-kata yang ia sampaikan salah dan tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya kau alami, jadikan itu sebagai ladang pahala bagimu dengan bersabar menghadapi cacian dan hinaan darinya, sambil mendoakan semoga Allah membukakan pintu hatinya untuk menyadari kesalahannya.
Allah itu maha pengampun, sungguh. Namun bukan berarti sifat maha pengampun yang dimiliki Allah ini boleh kita jadikan untuk berulang kali melakukan kesalahan dan dosa, karena tahu esok lusa pasti akan diampuni Allah. Itu salah besar. Seperti yang Gurutta katakan, berbuat baiklah sebanyak-banyaknya. Taubat lah dengan sebenar-benarnya taubat, dengan berjanji pada Allah, dan berikrar di dalam diri, tak akan lagi mengulangi kesalahan yang sama. Mungkin dengan begitu Allah yang maha pengampun, maha pemurah dan maha penyayang akan mengampuni kita, membersihkan seluruh dosa dan kotoran yang menempel di masa lalu kita. Kita tak pernah tahu kapan itu akan terjadi. Tapi yakinlah, barang siapa yang senantiasa berusaha menjadi hamba yang dicintai Allah, maka Allah akan lebih-lebih mencintainya.
Kebencian yang Mendalam
Rasa benci memang selalu menjadi biang kerok. Rasa benci terhadap seseorang membuat kita tak sedikit pun mau berkomunikasi dengan orang tersebut, bahkan tak mau mendengar namanya, tak mau berurusan dengan apapun yang ada kaitan dengannya. Dan bagaimana jadinya jika rasa benci yang begitu besar itu malah kita berikan pada seseorang yang seharusnya kita cinta, yang seharusya kita hormati? Bagaimana jadinya jika yang kita benci itu adalah orang tua kita sendiri?
Dalam kisah kedua, seorang tokoh bernama Daeng Andipati, memiliki rasa benci yang telah bertahun-tahun ia rasakan dan ia simpan pada Ayahnya sendiri. Karena perlakukan kejam sang ayah terhadap dirinya dan seluruh keluarganya, tak terkecuali terhadap ibunya. Hingga akhirnya sang Ibu meninggal setelah dipukuli sang ayah. Rasa benci inilah yang memunculkan pertanyaan besar dalam diri Daeng. Bagaimana mungkin ia akan pergi naik haji dengan membawa kebencian sebesar itu? apakah Tanah Suci akan terbuka bagi seorang anak yang membenci ayahnya sendiri? Bagaimana caranya agar ia bisa memaafkan, melupakan semua? Bagaimana caranya agar semua ingatan itu enyah pergi?
Gurutta kembali memberikan jawaban yang sungguh bijak, yang mampu menyentuh relung hati terdalam Daeng,
“Kita sebenarnya sedang membenci diri sendiri saat membenci orang lain. Ketika ada orang jahat, membuat kerusakan di muka bumi, misalnya, apakah Allah langsung mengirimkan petir untuk menyambar orang itu? Nyatanya tidak. Bahkan dalam beberapa kasus, orang-orang itu diberikan begitu banyak kemudahan, jalan hidupnya terbuka lebar. Kenapa Allah tidak langsung menghukumnya? Kenapa Allah menangguhkannya? Itu hak mutlak Allah. Karena keadilan Allah selalu mengambil bentuk terbaiknya, yang kita selalu tak paham.”
“Apakah kita berhak membenci orang lain? Sedangkan Allah sendiri tidak mengirimkan petir? Kenapa kita harus benci? Kenapa? Padahal kita bisa saja mengatur hati kita, bilang saya tidak akan membencinya. Toh itu hati kita sendiri. Kita berkuasa penuh mengatur-aturnya. Kenapa kita tetap memutuskan membenci? Karena boleh jadi, saat kita membenci orang lain, kita sebenarnya membenci diri sendiri.”
“Saat kita memutuskan memaafkan seseorang, itu bukan persoalan apakah orang itu salah, dan kita benar. Apakah orang itu memang jahat atau aniaya, bukan! Kita memutuskan memaafkan seseorang karena kita berhak atas kedamaian di dalam hati.”
Membenci dan memaafkan. Dua kata yang sangat bertolak belakang. Namun tepat seperti yang Gurutta katakan, hati kita punya kemampuan untuk memilih antara keduanya, apakah kita akan membenci ataukah memaafkan seseorang. Bukankan setiap kita mengingkan kebahagiaan? Menginginkan kedamaian dalam hidup? Lantas, bisakah kebahagiaan dan kedamaian itu kita dapatkan dari membenci orang lain? Justru sebaliknya. Saat kita memutuskan untuk membenci seseorang, maka sepanjang hidup kita akan terus menerus bergelut dengan rasa benci itu. Kita tak mau dekat-dekat orang yang dibenci, tak mau berurusan dengannya, tak mau bicara dengannya, apalagi melihat batang hidungnya, tak sudi orang-orang terdekat kita berurusan dengannya, tak mau pekerjaan kita diambil alih oleh dirinya, tak mau satu tempat kerja dengannya, tak mau mendengar namanya. Ah, benar-benar menyesakkan.
Namun jika kita memilih untuk memaafkan, kita akan selalu tersenyum, sabar dan ikhlas menerima apapun kelakuan buruk yang dilakukan orang lain, dan justru mendoakan orang itu agar dimaafkan dan dibukakan pintu hatinya untuk mengetahui kesalahannya. Kita tak perlu jauh-jauh mencari contoh, Rasulullah SAW. Sendiri telah memberikan kita suri tauladan yang baik dalam hal bersabar dan memaafkan orang lain. Meskipun dicaci, dihina, difitnah, dilempari batu hingga kakinya lengket dengan sandalnya yang dilumuri darah, pernahkah Beliau membenci orang-orang yang mendzolimi dan berbuat buruk padanya? Pernahkah beliau mendendam? Pernahkah beliau menghujat balik atau memperlakukan orang itu dengan buruk juga? Tidak pernah sekali pun. Beliau malah berkata, “Ya Allah, maafkan ummatku, mereka melakukan ini karena mereka tidak tahu bahwa mereka salah.” Sungguh tidak ada contoh manusia di dunia ini yang memiliki sifat mulia melebihi kemuliaan beliau.
Seorang Rasul, yang sama-sama manusia seperti kita pun bisa memilih untuk tidak membenci. Bahkan Allah pun tidak segera mengazab orang yang kita benci. Lantas mengapa kita harus repot-repot, susah-susah, dan menyiksa diri dengan memilih membenci orang lain? Sulit memang untuk dijalani, sulit sekali. Tapi tak ada salahnya mencoba. Semoga Allah memberikan kedamaikan di hati kita.
Cinta yang Pergi dan Cinta yang Tak Bisa Dimiliki
Cinta, satu kata dengan berjuta kisah di dalamnya. Berlebihan? Saya rasa tidak. Karena memang begitulah adanya. Cinta bisa menghinggapi hati siapa saja, seluruh manusia di belahan bumi manapun. Tak terkecuali saya. Dan mungkin kisah mengenai cinta yang diwakilkan oleh dua orang tokoh dalam novel ini bisa memberikan sedikit pencerahan untuk siapa pun di luar sana yang terkena efek ‘galau’ akibat cinta yang pergi, ataupun cinta yang tak bisa dimiliki.
Kisah pertama tentang cinta ini adalah kisah seorang kakek tua yang akrab dipanggil Mbah Kakung. Dalam perjalanan menuju Tanah Suci, Mbah Kakung kehilangan cinta sejatinya, yakni sang istri, mbah putri. Padahal perjalanan haji ini adalah perjalanan yang amat mereka nanti-nantikan. Ini adalah pembuktian cinta mereka berdua yang telah berjuang bersama untuk mengumpulkan keping demi keping uang selama bertahun-tahun untuk bisa naik haji, karena mereka bukan berasal dari keluarga yang berada. Mimpi Mbah Kakung kandas seketika setelah ditinggalkan oleh Mbah Putri. Ia tak bisa terima, mengapa Istrinya tercinta harus diambil Allah sekarang? Saat sebentar lagi mereka akan sampai di Tanah Suci? Mengapa tak bisa menunggu sebentar saja?
Menjawab kekecewaan dan kesedihan Mbah Kakung, Gurutta kembali mengeluarkan nasehat yang sungguh bijak. Dengan bahasa yang penuh hati-hati karena bicara dengan orang yang lebih tua darinya, ia bisa mendamaikan hati Mbah Kakung. Gurutta berpesan,
“Lahir atau mati adalah takdir Allah. Kita tidak bisa menebaknya. Kita tidak bisa memilih orangtua, tanggal, tempat….tidak bisa. Itu hak mutlak Allah. Kita tidak bisa menunda, maupun memajukannya walau sedetik. Kenapa Mbah Putri harus meninggal di kapal ini? Allah yang tahu alasannya. Dan ketika kita tidak tahu, tidak mengerti alasannya, bukan berarti kita jadi membenci, tidak menyukai takdir tersebut. Amat terlarang bagi seorang muslim mendustakan takdir Allah.”
“Allah memberikan apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan. Segala sesuatu yang kita anggap buruk, boleh jadi baik untuk kita. Sebaliknya, segala sesuatu yang kita anggap baik, boleh jadi amat buruk bagi kita. Mulailah menerima dengan lapang hati. Karena kita mau menerima atau menolaknya, dia tetap terjadi. Takdir tidak pernah bertanya apa perasaan kita, apakah kita bahagia, apakah kita tidak suka. Takdir bahkan basa basi menyapa pun tidak. Tidak peduli, Nah. Kabar baiknya, karena kita tidak bisa mengendalikannya, bukan berarti kita jadi makhluk tidak berdaya. Kita tetap bisa mengendalikan diri sendiri bagaimana menyikapinya. Apakah bersedia menerimanya, atau mendustakannya.”
“Biarkanlah waktu mengobati seluruh kesedihan. Ketika kita tidka tahu mau melakukan apa lagi, ketika kita merasa semua sudah hilang, musnah, habis sudah, maka itulah saatnya untuk membiarkan waktu menjadi obat terbaik. Hari demi hari akan menghapus selembar demi selembar kesedihan. Minggu demi minggu akan melepas sepapan demi sepapan kegelisahan, bulan, tahun, maka rontok sudahlah bangunan kesedihan di dalam hati. Biarkanlah waktu mengobatinya, maka semoga kita mulai lapang hati menerimanya. Sambil terus mengisi hari-hari dengan baik dan positif.”
“Dalam Al Qur’an, ditulis dengan sangat indah, minta tolonglah kepada sabar dan shalat. Bagaimana mungkin sabar bisa menolong? Tentu saja bisa. Dalam situasi tertentu, sabar bahkan adalah penolong paling dahsyat. Tiada terkira. Dan shalat, itu juga penolong terbaik tiada tara.”
Lagi-lagi kita dihadapkan pada sesuatu yang sebenarnya bisa kita pilih. Sedih, siapa yang tak pernah merasa sedih. Sedih karena cinta, itu juga pasti pernah dirasakan semua orang. Namun kenapa kesedihan itu ada yang bisa bertahan lama, bertahun-tahun pada sebagian orang dan bisa berlalu, lenyap setelah beberapa hari bagi sebagian yang lain. Karena hati mereka telah memilih. Ada yang memilih untuk terus menerus hidup dalam kungkungan kesedihannya, ada pula yang memilih untuk ‘move on’ dan menjalani hidup dengan lebih lapang dada dengan mengikhlaskan kesedihan itu pergi dibawa oleh waktu.
Saya maupun penulis novel ini tidak bermaksud untuk menyepelekan rasa sakit dan kehilangan yang dirasakan oleh orang-orang yang ditinggal pergi oleh orang yang dicintainya, sungguh tidak. Tapi memang kematian itu pasti datangnya, karena setiap yang bernyawa pasti akan mati. Tak terkecuali saya, tak terkecuali anda, dan seluruh manusia di dunia ini. Sejauh apapun dia berlari, sehebat apapun dia bersembunyi, ajal Allah pasti akan tetap mendatanginya jika sudah saatnya. Maka siapa yang bisa mengelak? Dan apa yang bisa kita sesalkan dari kematian yang sudah pasti itu? Apa yang bisa kita salahkan? Tidak ada. Karena benar kata Gurutta, itu hak mutlak Allah sebagai sang maha pencipta. Karena kita ini miliki Allah, raga dan nyawa ini milik Allah, semua yang kita cintai di dunia ini milik Allah, maka ia berhak mengambilnya kapanpun ia mau, entah kita siap atau tidak menghadapinya.
Respon yang kita berikan saat menghadapi takdir Allah itulah yang kelak akan dipertanggung jawabkan dihadapan Allah. Apakah kita bisa ikhlas, atau malah kita tak mau terima sampai akhir. Kita perlu mengingat lagi, apa tujuan kita hidup di dunia ini, apa maksud Allah menciptakan manusia di dunia ini. Ia ingin kita terus beribadah kepadanya, menyembahnya, mengabdi padaNya, berserah diri kepadaNya, dan mempersiapkan diri untuk kehidupan yang sesungguhnya, kehidupan akhirat. Dunia bukanlah akhir segalanya, alam akhirat lah yang menjadi tempat kita akan hidup selama-lamanya. Maka persiapkanlah bekal untuk kehidupan akhirat itu dengan sebaik-baiknya. Bersedihlah, tiada yang melarang. Justru tak bisa merasakan sedih itu tidak normal. Tapi setelah puas bersedih beberapa hari, lantas bangkitlah dan lanjutkan misi untuk mempersiapkan diri menuju kehidupan akhirat. Bisa jadi sebulan, seminggu, atau beberapa hari kemudian justru kita yang mendapat giliran. Semoga Allah masih memberikan kita kesempatan untuk terus memperbaiki diri.
Kisah cinta yang kedua adalah kisah tentang cinta yang bisa dimiliki. Seorang pelaut bernama Ambo Uleng telah jatuh cinta dengan seorang anak gadis dari keluarga kaya dan terpandang. Dan cinta nya ditolak mentah-mentah oleh keluarga sang gadis hanya karena ia bukan anak bangsawan, bukan dari kalangan terpelajar, dan tidak memiliki harta yang cukup banyak untuk meminang sang gadis. Padahal sang gadis juga diam-diam menyukai dirinya. Kenyataan pahit ini membuat Ambo Uleng memutuskan untuk pergi sejauh mungkin dari kota tempat tinggalnya, dan bergabung dalam rombongan kapal penunmpang haji dengan mendaftar menjadi seorang kelasi. Ia pun sama seperti tokoh-tokoh lainnya, mengutarakan kesedihan dan kehancuran yang dirasakan hatinya pada Gurutta, sang ulama mahsyur itu. Gurutta lagi-lagi mampu memberikan jawaban yang bijak atas pertanyaan dan kegundahan yang dirasakan Ambo Uleng. Dan kalau boleh jujur, nasehat ini juga menjawab semua kegundahan dan kesedihan yang selama ini saya rasakan.
“Apakah arti cinta sejati itu? Maka jawabannya, dalam kasus kau ini, cinta sejati adalah melepaskan. Semakin sejati perasaan itu, maka semakin tulus kau melepaskannya. Persis seperti anak kecil yang menghanyutkan botol tertutup di lautan, dilepas dengan rasa suka cita. Aku tahu, kau akan protes, bagaimana mungkin? Kita bilang itu cinta sejati, tapi kita justru melepaskannya? Tapi inilah rumus terbalik yang tidak pernah dipahami para pecinta. Mereka tidak pernah mau mencoba memahami penjelasannya, tidak bersedia.”
“Lepaskanlah. Maka esok lusa, jika dia adalah cinta sejatimu, dia pasti akan kembali dengan cara mengagumkan. Ada saja takdir hebat yang tercipta untuk kita. Jika dia tidak kembali, maka sederhana jadinya, itu bukan cinta sejatimu. Kisah-kisah cinta di dalam buku itu, di dongeng-dongeng cinta, atau hikayat orang tua, itu semua ada penulisnya. Tapi kisah cinta kau, siapa penulisnya? Allah. Penulisnya adalah pemilik cerita paling sempurna di muka bumi. Tidakkah sedikit saja kau mau meyakini bahwa kisah kau pastilah yang terbaik yang dituliskan.”
“Dengan meyakini itu, maka tidak mengapa kalau kau patah hati, tidak mengapa kalau kau kecewa, atau menangis tergugu karena harapan, keinginan memiliki, tapi jangan berlebihan. Jangan merusak diri sendiri. Selalu pahami, cinta yang baik selalu mengajari kau agar menjaga diri. Tidak melanggar batas, tidak melewati kaidah agama. Karena esok lusa, ada orang yang mengaku cinta, tapi dia melakukan begitu banyak maksiat, menginjak-injak semua peraturan dalam agama, menodai cinta itu sendiri. Cinta itu ibarat bibit tanaman. Jika ia tumbuh di tanah yang subur, disiram dengan pupuk pemahaman baik, dirawat dengan menjaga diri, maka tumbuhlah dia menjadi pohon yang berbuah lebat dan lezat. Tapi jika bibit itu tumbuh di tanah yang kering, disiram dengan racun maksiat, dirawat dengan niat jelek, maka tumbuhlah ia menjadi pohon meranggas, berduri, berbuat pahit.”
“Jika harapan dan keinginan memiliki itu belum tergapai, belum terwujud, maka teruslah memperbaiki diri sendiri, sibukkan dengan belajar. Sekali kau bisa mengendalikan harapan dan keinginan memiliki, maka sebesar apa pun wujud kehilangan, kau akan siap menghadapinya. Jika pun kau akhirnya tidak memiliki gadis itu, besok lusa kau akan memperoleh pengganti yang lebih baik.”
Mungkin banyak dari pembaca yang juga memiliki pengalaman seperti ini, mencintai seseorang, sudah berusaha untuk mendapatkannya dengan cara yang benar dan sesuai kaidah agama, tapi ternyata tak ada jalan, buntu. Entah karena dia yang belum siap menikah, karena dia tidak bisa menerima kita, atau karena masalah keluarga seperti yang dialami Ambo Uleng. Atau bisa jadi karena kita yang merasa belum siap untuk melangkah lebih jauh, hanya berani menyimpan perasaan dalam-dalam di hati, namun tak berani diutarakan karena tahu tanggung jawab yang akan mengekori setelah ‘pengutaraan cinta’ itu akan sangat besar, dan kita belum siap untuk menjalani dan menghadapinya. Jadilah kita anak-anak manusia yang jatuh dalam kondisi ‘menggalau’. Tidak tahu harus berbuat apa untuk menolong diri sendiri, rasanya hampa, sedih. Tiba-tiba saja air mata jadi teman yang sangat setia menemani hari-hari kita.
Tapi benar apa yang dikatakan Gurutta, cinta sejati adalah cinta yang bisa melepaskan, merelakan, mengikhlaskan yang dicintai pergi. Jika sudah berusaha, jika sudah menempun jalan yang benar, berharap dan berdoa pada Allah dalam setiap sujud di tengah malam, lantas jawaban yang didapatkan tak seperti yang diharapkan, tak ada yang bisa kita lakukan selain mengikhlaskannya. Marah-marah? Merajuk? Mendendam? Itu jelas bukan pilihan yang baik. Mengejar-ngejar terus sampai tak mempedulikan batasan norma kesopanan dan agama? Itu juga jelas bukan jawabannya. Maka mengikhlaskan, melepaskannya pergi, membiarkannya terbang bebas, hanya itulah yang bisa kita lakukan.
Menangislah, hingga matamu bengkak, hingga semua tenagamu habis, hingga air matamu mengering dengan sendirinya, hingga kau lelah dan terlelap dalam tangismu. Tak ada yang melarangmu untuk menangis. Bersedihlah, tak pernah Allah membenci orang yang bersedih. Tapi sekali lagi, Gurutta benar dengan mengatakan “Jangan berlebihan. Jangan merusak diri sendiri”. Lepaskan semua kesedihanmu dengan menangis hingga kau lelah dan terlelap, untuk selanjutnya bangun di pagi hari dan melanjutkan kehidupan dengan penuh rasa ikhlas. Isilah hari-harimu dengan semua hal positif yang bisa kau lakukan. Menulis, contohnya. Siapa tahu dengan menulis di blog, atau dalam lomba resensi novel seperti ini kau malah bisa menghasilkan karya-karya indah yang bisa menggugah hati banyak orang. Dan dengan membaca tulisanmu, orang lain bisa lebih bersemangat menjalani kehidupannya. Sungguh luar biasa efek dari patah hati dan jatuh cinta ini, kalau kita bisa menyikapinya dengan cara yang positif.
Dan tak ada yang pernah tahu skenario Allah. Allah selalu punya kejutan yang kadang tak pernah kita sangka-sangka. Bisa jadi dengan melihat usaha kita untuk ikhlas menerima takdir yang telah Ia gariskan, Allah malah menyimpan sesuatu yang sangat indah untuk kita. Yang baru akan kita ketahui di masa depan. Sungguh, Allah tak akan pernah menyia-nyiakan makhluknya yang senantiasa bersabar dan ikhlas dalam menghadapi semua ujian dariNya.
Kemunafikan dan Rasa Takut Kehilangan
Inilah kisah kelima, kisah dan pertanyaan besar yang ternyata datang dari seorang laki-laki paling bijak diantara seluruh tokoh di atas. Laki-laki yang selalu dimintai nasehat dan pendapatnya tentang segala permasalahan. Kisah ini datang dari Gurutta, sang ulama mahsyur itu.
Mungkin bagi beberapa orang, peperangan dan pertumpahan darah adalah sesuatu yang sangat amat tidak baik dan tidak layak untuk dilakukan. Karena dengan peperangan, kita bisa kehilangan orang-orang yang kita sayangi, kita bisa kehilangan segalanya. Oleh karenanya orang-orang tersebut memilih jalan yang lebih damai, salah satu contohnya seperti yang dilakukan oleh gurutta, ia memilih untuk menulis. Ia juga ingin negeri ini merdeka dari penjajahan, tapi ia terlalu takut untuk ikut serta dalam peperangan, selalu menghindar dari medan perang, dan lebih memilih melawan dengan cara yang lembut, melalui tulisan-tulisan dan ceramah-ceramah agama.
Namun pilihannya untuk menempuh jalan damai itu seketika dipertanyakan dalam sebuah kondisi yang begitu genting dan mendesak, yakni ketika kapal yang ia tumpangi bersama ribuan orang lainnya dibajak oleh perompak. Ambo uleng sudah menyusun rencana penyerangan balik terhadap para perompak tersebut, namun dilain pihak Gurutta malah tidak menyetujui rencana tersebut. Ia menolak mentah-mentah dengan alasan akan banyak korban yang jatuh jika memutuskan untuk melakukan penyerangan balik.
Dalam kondisi genting itulah, Ambo Uleng, seorang laki-laki yang bukan berasal dari kalangan berpendidikan tinggi, yang hanya seorang kelasi dapur itu mampu membuat Gurutta menyadari kesalahan terbesarnya, membuat sang Ulama menemukan jawaban dari pertanyaan besar yang selama ini menghantuinya.
“Aku tahu, sejak kejadian di Aceh, meninggalnya Syekh Raniri dan Cut Keumala, sejak saat itu Gurutta berjanji tidak akan menggunakan kekerasan lagi. Melawan lewat kalimat lembut, tulisan-tulisan menggugah, tapi kita tidak bisa mencabut duri di kaki dengan itu, Gurutta. Kita harus mencabutnya dengan tangan. Sakit memang, tapi harus dilakukan.”
“Aku tahu Gurutta tidak mau lagi kehilangan orang-orang yang Gurutta sayangi, tapi kebebasan pantas dibayar dengan nyawa. Aku membutuhkan Gurutta dalam rencana ini.”
“Gurutta masih ingat ceramah Gurutta beberapa hari lalu di masjid kapal? Lawanlah kemungkaran dengan tiga hal. Dengan tanganmu, tebaskan pedang penuh gagah berani. Dengan lisanmu, sampai dengan perkasa. Atau dengan di dalam hati, tapi itu sungguh selemah-lemahnya iman.”
“Ilmu agamaku dangkal Gurutta. Tapi malam ini, kita tidak bisa melawan kemungkaran dengan benci di dalam hati atau lisan. Kita tidak bisa menasihati perompan itu dengan ucapan-ucapan lembut. Kita tidak bisa membebaskan seluruh penumpang dengan benci di dalam hati. Malam ini kita harus menebaskan pedang. Percayalah Gurutta, semua akan berjalan baik. Kita bisa melumpuhkan perompak itu. Aku mohon. Sungguh aku mohon. Rencana ini sia-sia jika Gurutta tidak bersedia memimpinnya.”
Begitulah kalimat-kalimat yang mengalir dari seorang kelasi rendahan bernama Ambo Uleng. Kalimat-kalimat yang bagaiakan tamparan yang begitu keras mengenai pipi Seorang Ulama mahsyur dan bijak seperti Gurutta. Ia yang selama ini selalu tenggelam dalam tulisan-tulisan dan buku-buku ia yang buat, ia yang selama ini selalu mensyiarkan ajaran islam dan memberikan nasihat-nasihat bijak pada orang lain tiba-tiba merasa begitu tak berdaya ketika dihadapkan pada situasi terdesak oleh pelaku kemungkaran. Ia merasa begitu munafik karena selama ini dengan mudahnya nasihat-nasihat bijak mengalir dari mulutnya, namun justru ketika dihadapakan pada posisi sulit seperti itu, ia malah tak mampu berada di garda terdepan untuk memperjuangkan ummat nya.
Gaya kepemimpinan yang baik juga telah dicontohkan oleh Rasul kita Muhammad SAW. Ketika daulah islam belum terbentuk, beliau masih terus menempuh jalan dakwah. Mensyiarkan agama melalui kalimat-kalimat santun dan baik ke seluruh penduduk kota Mekah yang saat itu masih hidup dalam gaya dan sistem yang jahiliyah. Namun ketika telah berdiri Daulah/Negara Islam pertama di Madinah, dan dengan terbentuknya negara ini maka telah terbentuk pula pasukan keamanan yang mampu melindungi kedaulatan negara dan melindungi ummat, maka setiap kali ada bangsa atau kaum kafir yang ingin menyerang Madinah dan melukai ummat Muslim, Rasulullah tak gentar untuk menanggapi ajakan berperangan tersebut. Beliau pun menjadi pemimpin di tiap peperangan, berada di garda terdepan pasukan pembela ummat muslim. Dengan membawa panji-panji Islam, pasukan yang gagah berani itu memenangkan sebagian besar peperangan melawan Kafir. Karena dilindungi oleh Rasulullah dan pasukan yang siap mati syahid dalam jihad di jalan Allah, ummat bisa hidup dalam perlindungan penuh.
Begitulah seharusnya seorang ulama bertindak, mencontoh teladan Rasulullah yang tak pernah gentar melawan pasukan kafir quraisy meskipun jumlah pasukan mereka kalah banyak dibanding pasukan musuh. Peperangan memang kejam, karena akan ada begitu banyak nyawa yang melayang. Dan Allah benci jika ada nyawa muslim yang mati sia-sia. Namun jika ummat yang sudah terdesak, tidak lagi memiliki kesempatan untuk hidup dengan damai dan menjalankan ibadah dengan tenang karena berada di bawah ancaman, seperti yang terjadi pada bangsa Indonesia saat masa penjajahan, maka tak ada jalan lain yang bisa dilakukan selain melawan, berperang di jalan Allah. Pada masa Rasulullah masih memimpin ummat dulu, Allah lah yang mengizinkan untuk dilakukan peperangan, karena Allah tahu ummat sudah terdesak, dan tak ada jalan keluar lain untuk melindungi nyawa-nyawa lainnya yang tak berdosa selain dengan mengerahkan pasukan dan menjawab tawaran untuk berperang.
Dari kelima kisah tersebut, banyak sekali pelajaran yang bisa kita ambil. Novel ini memang tidak sempurna, karena tidak ada hal yang sempurna di dunia ini, bukan? Tapi jika melihat banyaknya nasihat dan pelajaran hidup yang bisa kita ambil dari kisah-kisah yang dipaparkan di dalamnya, maka saya sangat merekomendasikan untuk pembaca sekalian menjadikan novel ini sebagai referensi bacaan di waktu senggang. Resensi ini mungkin tak sempurna menggambarkan keindahan buku ini, pun tak sempurnah menjelaskan titik kelemahan dari buku karangan Darwis Tere Liye ini. Tapi semoga tulisan ini bisa memberikan ulasan yang cukup untuk membuat pembaca sekali tertarik membeli novel ini dan membacanya sampai habis.
Rensensi ini saya tutup dengan mengutip satu lagi puisi indah dari Gurutta…
“Wahai laut yang temaram, apalah arti memiliki? Ketika diri kami sendiri bukanlah milik kami.
Wahai laut yang lengang, apalah arti kehilangan? Ketika kami sebenarnya menemukan saat kehilangan, dan sebaliknya, kehilangan banyak saat menemukan.
Wahai laut yang sunyi, apalah arti cinta? Ketika kami menangis terluka atas perasaan yang seharusnya indah? Bagaimana mungkin, kami terduduk patah hati atas sesuatu yang seharusnya suci dan tidak menuntut apa pun?
Wahai laut yang gelap, bukankah banyak kerinduan saat kami hendak melupakan? Dan tidak terbilang keinginan melupakan saat kami dalam rindu? Hingga rindu dan melupakan jaraknya setipis benang saja.”
Nih ane Tambahin yang menurut ane kata-katanya bagus.

“Apa arti memiliki,
ketika diri kami sendiri bukanlah milik kami ?

Apalah arti kehilangan,
ketika kami sebenarnya menemukan banyak saat kehilangan, dan sebaliknya, kehilangan banyak pula saat menemukan

 Apalah arti cinta,
Ketika kami menangis terluka atas perasaan yang seharusnya indah ? Bagaimana mungkin, kami terduduk patah hati atas sesuatu yang seharunya suci dan tidak menuntut apa pun ?

Wahai, bukankah banyak kerinduan saat kami hendak melupakan? Dan tidak terbilang keinginan melupakan saat kami dalam rindu? Hingga rindu dan melupakan jaraknya setipis benang saja”

"Mata Air yang dangkal akan bermanfaat jika bersih dan tulus"
Penjelasan nya mungkin gini ya menurut ane :
Jika kita memiliki ilmu meskipun sedikit/dangkal jika kita berniat mengajarkan kan nya kepada orang lain dengan tulus dan ikhlas akan bermanfaat .
Akhir kata Semoga article ini dapat Bermanfaat bagi para pembacanya dan khusus nya bagi penulis, jangan lupa untuk beli bukunya ya, Semoga Allah SWT. membalas semua kebaikan yang telah kita perbuat. Wassalamualaikum Wr Wb.

No comments:

Post a Comment

My Blog List

Followers

Counter Visitor

Flag Counter

Total Pageviews

Twitter Me

Designed By Farisms07